KEMUSYRIKAN MENURUT MADZHAB SYAFI’I
Ilmu
tauhid itu mempunyai pengaruh yang baik dan
jelas dalam kehidupan manusia dan masyarakat, dan juga memiliki buah yang matang yang dapat memberikan pengaruh yang sangat bagus dan agung.
Antara lain:
1. Membebaskan
Manusia dari Pengabdian kepada Selain Allah.
2. Menekankan
Keseimbangan Antara Perilaku dan
Perbuatan.
3. Mewujudkan
Jiwa yang Aman, Damai dan Tangguh
4. Menanamkan Prinsip Persaudaraan dan Persamaan
BAHAYA KEMUSYRIKAN
Apabila tauhid memberi pengaruh dan membuahkan hal-hal yang positif, maka di sisi lain kemusyrikan
justru akan mendatangkan bahaya-bahaya dan
kerusakan-kerusakan sebagai berikut:
1. Pelecehan Martabat Manusia
Apabila
seseorang menyembah kepada sesama makhluk,
selain Allah, sementara makhluk yang disembah itu tidak dapat memberinya
manfaat maupun menimpakan bahaya, tetapi ia dijadikan sebagai sesembahan yang ditaati, padahal ia adalah sama-sama
makhluk seperti juga yang menyembah, yang tidak memiliki kekuasaan apa-apa, bahkan terkadang yang disembah itu lebih rendah martabatnya daripada
yang menyembah, seperti sapi betina,
pohon, batu dan lain-lain; maka apakah layak seorang manusia yang diberi
akal dan terhormat melakukan hal seperti itu? Itulah kemusyrikan. Dan apakah
ada pelecehan terhadap martabat manusia yang lebih parah dari kemusyrikan itu.
2. Membenarkan Khurafat
Hal ini dapat terjadi manakala manusia berkeyakinan,
bahwa makhluk itu dapat memberikan manfaat dan menimpakan
bahaya kepada yang lain, seperti halnya Allah. Kemudian dari keyakinan itu
timbul cerita-cerita khurafat, takhayul dan kisah-kisah batil yang tidak dapat diterima oleh akal manusia dan
tidak dapat dibenarkan oleh hati sanubari manusia.
3. Syirik adalah Kezhaliman yang Terbesar
Allah berfirman:
Artinya :
“Dan orang-orang
kafir itulah orang-orang yang zhalim” (QS; Al-Baqarah: 254)
Allah
berfirman:
Artinya
:
“Sesungguhnya
kemusyrikan itu adalah kezhaliman yang agung.” (QS;Lukman: 13)
Mana
ada kezhaliman yang lebih besar daripada sikap
seseorang yang diciptakan oleh Allah, tetapi justru ia menyembah selain Allah? Atau ada orang diberi rizki oleh Allah, tetapi justru
berterima kasih kepada selain Allah.
Zhalim seperti ini adalah menzhalimi diri sendiri, karena ia menjadi terhalang untuk memperoleh kesenangan, kenikmatan dan kehidupan hatinya dari buah tauhid.
Sementara di sisi lain, dirinya sendiri dibebani dengan siksaan yang sebenarnya ia tidak mampu memikulnya.
4. Syirik
Menimbulkan Rasa Takut
Hal
itu karena orang yang musyrik (menyekutukan Allah dengan yang lain) tidak
memiliki rasa percaya kepada Allah, ia juga
tidak berserah diri kepada Allah. Ia justru gelisah dengan jiwa tak
berketetapan antara klenik, khurafat dan
takhayul. Ia takut akan segala sesuatu. Ia khawatir akan kehidupannya
dan rezekinya. Ia takut akan segala-galanya dan khawatir terhadap segala-galanya. Inilah kehidupan yang
paling buruk.
5. Menyebarkan Hal-hal yang Negatif dalam
Kehidupan Manusia.
Orang yang musyrik selalu tidak percaya kepada diri sendiri, setelah tidak percaya kepada
Allah. Ia selalu mengandalkan
orang lain sebagai penolong dan perantara,
seperti kepercayaan orang-orang Nashrani tentang al-Masih . Akibatnya, banyak
potensi yang ada pada dirinya tidak
digunakan sama sekali.
6. Masuk Neraka
Kemusyrikan adalah penyebab utama untuk
masuk neraka. Allah , berfiman:
Artinya :
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu) dengan Allah,maka pasti Allah akan mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka. Tidak ada
orang-orang zhalim itu seorang penolongpun.” (Al-Maidah: 72)
Tauhid adalah penyebab utama masuk surga.
Karena orang yang musyrik tidak mempunyai masa depan kecuali neraka, karena
dosa kemusyrikan itu tidak akan diampuni selamanya. Allah berfirman:
Artinya
:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik.”
(An-Nisa: 48)
Inilah bahaya-bahaya kemusyrikan dan pengaruh-pengaruh
buruk yang ditimbulkannya pada kehidupan manusia di
dunia maupun di akhirat.
Oleh
karena itu, kami bermaksud untuk
menjelaskan sebagian dari upaya yang telah
dilakukan oleh para ulama dari madzhab Syafi’i yang menerangkan masalah syirik, wasilah (penyebab)nya, bentuk-bentuknya
dan lain-lain, berdasarkan apa yang kami baca dari kitab-kitab yang
mereka tulis.
Ulama Syafi'iyah adalah para ulama dalam masalah
fiqih mengikuti seorang imam yang dalam ilmunya,
luhur derajatnya, yang merupakan tokoh
lapisan generasi ke sembilan dan pembaharu bidang agama pada akhir abad ke dua. Ia salah satu dari imam-imam
empat yang banyak pengikutnya, yang dilahirkan pada tahun 150 H. Madzhab
Syafi'i ini tersebar di Iraq, Syam, Mesir,
Hijaz, Yaman dan lain-lain. Bahkan negara-negara
Islam sampai hari ini tetap menjadikan
madzhab Syafi'i ini sebagai madzhab resmi negara. Semoga Allah memberikan
rahmat-Nya dan pahala yang agung kepada imam yang mulia ini.
PENGERTIAN SYIRIK MENURUT ULAMA MADZHAB
SYAFI’I
I. Imam al-Azhari asy Syafi’i
Beliau mengatakan,
Allah menceritakan tentang hamba-Nya yang bernama Lukman al-Hakim, beliau
berkata kepada putranya:
Artinya
:
“Janganlah kamu menyekutukan Allah dengan yang
lain, karena syirik itu merupakan kezhaliman yang agung.” (QS;Lukman: 13)
Syirik
adalah kamu membuat sekutu bagi Allah dalam ketuhanan-Nya (Rububiah-Nya).
Maha Luhur Allah dari sekutu-sekutu dan tandingan-tandingan. Makna ( لا تشرك) dengan memakai huruf ba’ dalam (بالله)
adalah : “kamu jangan menyepadankan Allah
dengan yang lain sehingga yang lain itu kemudian kamu jadikan
sekutu (kawan) bagi Allah. Begitu pula dalam firman-Nya:
Artinya
:
“… karena mereka
menyekutukan Allah (dengan yang
lain) yang Alloh sendiri tidak menurunkan hujjah
untuk mempersekutukan-Nya.” (QS; Ali
Imran:
151)
Maka isyrak (menyekutukan) dalam ayat itu adalah menyepadankan Allah dengan yang lain. Dan
siapa yang menyepadankan Allah dengan makhluk-Nya,
maka ia telah musyrik, karena Allah itu satu, tidak ada sekutu, tidak
ada tandingan maupun bandingan-Nya.”
2. Imam al-Raghib al-Ishfahani.
Beliau menyatakan, “Syirik yang agung adalah menetapkan adanya sekutu bagi Allah. Misalnya,
Fulan menyekutukan Allah dengan yang lain. Syirik ini adalah kekafiran yang
paling besar.”
4. Imam al-Minawi
Beliau
mengatakan, “Syirik adalah menyandarkan perbuatan yang hanya Dzat Yang Maha Esa semata berhak
melakukannya kepada makhluk yang bukan haknya melakukan perbuatan itu.”
5. Al-‘Allamah Ali as-Suwaidi asy-Syafi’i
Ketika menjelaskan tentang syirik dan mengingatkan bahayanya, beliau berkata: “Ketahuilah -semoga
Allah menjaga saya dan kamu dari kemusyrikan, kekafiran dan kesesatan. Semoga
Allah memberikan taufiq kepada kita menuju
hal-hal yang disenangi dan diridhai-Nya, baik dalam perkataan maupun perbua-tan-, bahwa syirik itu
berlawanan dengan tauhid. Ke-duanya tidak
akan bertemu. Seperti halnya kekafiran berlawanan dengan iman, di mana keduanya bertolak belakang. Maka apabila ada orang disebut muwahhid
(bertauhid), ini artinya ia meyakini keesaan Allah dan tidak menetapkan bahwa Allah itu punya sekutu. Dan seseorang tidak mungkin dapat disebut
bertauhid (mengesakan Allah) dengan
tauhid yang dikehendaki Allah, sebelum dia membersihkan diri dari segala
se-suatu yang mengandung unsur kemusyrikan kepada Allah (yang disembah).
Lawan
dari muwahhid (bertauhid, mengesakan Allah) adalah musyrik (orang
yang menyekutukan Allah dengan lain-Nya). Yaitu yang terlahir dari kemusyrikan
meskipun dengan salah satu dari macam-macam syirik, seperti dengan ucapan,
sifat-sifat, perbuatan, keyakinan, mu’amalah (pergaulan), persetujuan, dan
penilaiannya bahwa syirik itu baik. Begitu pula apabila ia rela mengucapkan
atau mendengarkan kata-kata syirik.
Orang-orang
pada masa jahiliyah, karena dalam ibadah mereka telah melakukan syirik,
menyekutu-kan Allah dengan hal-hal yang
menurut mereka baik, karena akal
mereka tidak berfungsi dan mereka selalu
mengikuti kesesatan yang sudah jelas
bersumber dari nenek moyang mereka, maka mereka tetap saja selalu menyembah berhala-berhala, patung-patung,
pohon-pohon, kuburan, tugu, batu-batu besar, dan lain-lain. Mereka minta keberkahan dari benda-benda tersebut
seraya mengharapkan syafa’at
(pertolongan) benda-benda itu di sisi Penciptanya. Mereka berlindung kepada benda-benda
tersebut, dan berpegang teguh dengan anggapan mereka, bahwa dengan itu, mereka
mencukupi makan minum mereka.
Dari
perbuatan syirik ini kemudian muncul kesesatan-kesesatan
yang merupakan cabang-cabang dari pohon kemusyrikan itu. Seperti takhayul (klenik), bersumpah dengan menyebutkan benda-benda yang mereka jadikan tuhan, menggantungkan mantra-mantra,
benda-benda pengasih (sikep), dan
jimat-jimat untuk memperoleh atau menolak apa yang mereka kehendaki. Maka dengan perbuatan itu mereka telah menyepadankan
dan menyekutukan antara Allah dengan makhluk-Nya, yaitu dengan sama-sama
dicintai, dijadikan harapan, ditakuti,
dijadikan tempat berlindung, diyakini mampu mencegah, memberi,
mendekatkan dan menjauhkan.
Perbuatan-perbuatan
yang dilandasi dengan kebodohan ini kemudian
berkembang dan marata, dan api kesesatan
menyala di antara mereka, sampai mereka
membuat upacara-upacara agama yang tidak diizinkan oleh Allah. Mereka
menjadikan binatang-binatang tertentu
menjadi saibah, wasilah dan ham. Begitulah, orang-orang jahiliyah itu berbuat dalam kebodohan dan kesesatan, sampai kemudian
Allah mengutus Nabi-Nya Muhammad sebagai
pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, sekaligus mengajak mereka
untuk menyembah Allah dengan izin-Nya, dan
juga ibarat lampu yang memberikan penerangan.
Maka
Nabi Muhammad kemudian memberi-kan
penerangan terbuka tentang hakekat tauhid dengan cara mengesakan Allah dan
membersihkan diri dari penyembahan-penyembahan kepada lain-Nya. Dan itulah hakekat tauhid. Nabi n juga menegaskan
kepada orang-orang jahiliyah tentang keharusan untuk mengesakan Allah dan
meninggalkan syirik (menyekutukan Allah dengan yang lain). Itulah tauhid yang
dijelaskan Allah dalam kitab-Nya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad .
Allah menerangkan tauhid dengan membuat perumpamaan-perumpamaan, dan mengetengahkan argumen-argumen secara jelas dan rinci. Oleh
karena itu. anda dapat melihat Al-Qur’an dan Hadits lebih banyak
menyebutkan syirik dan orang-orang yang musyrik daripada menyebutkan kekafiran dan orang-orang kafir.
Menyebut-nyebut syirik pada masa itu, dan pada masa
sesudahnya, yaitu masa Sahabat dan Tabi’in adalah suatu hal yang dikenal secara
populer. Bahkan menyebutnya sampai pada tingkat yang sangat masyhur. Namun ketika pondasi-pondasi syirik itu
sirna, karena orang-orang yang musyrik juga sudah tidak ada lagi, sementara ajaran-ajaran agama secara
benar menjadi gejala umum, maka hampir tidak ada orang yang
menyinggung-nyinggung tentang kemusyrikan. Tidak
ada mulut yang mau dikotori dengan menyebut syirik itu. Karenanya para
ulama kemudian banyak membahas masalah murtad, dengan menyebut-nyebut hal-hal yang menyebabkan kafir, dan mereka
tidak membahas hal-hal yang dapat menjadikan musyrik pada seseorang.
Setelah
penjelasan ini, kita lihat bahwa syirik dalam uluhiyyah (menyembah
Allah) tidak disebut-sebut. Padahal tauhid
uluhiyyah (hanya menyembah Allah saja) merupakan pokok agama Islam.
Tauhid inilah yang menyebabkan terjadinya pertentangan antara para rasul dan umatnya; dan ajaran
tauhid ini pula yang dibawa oleh para rasul
di mana mereka diutus oleh Allah.
Sebagaimana ditegaskan oleh Allah :
Artinya
:
“Dan
kami tidak mengutus sebelum kamu (Mu-hammad)
seorang rasul pun, kecuali Kami mem-berikan wahyu kepadanya, bahwa sesungguhnya
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Aku. Oleh karena itu, sembahlah Aku.”
(Al-An-biya’ : 25)
MACAM SYIRIK MENURUT SEBAGIAN ULAMA
MADZHAD SYAFI’I
1. Imam ar-Raghib al-Ishfahani
Beliau
berkata, “Syirik yang dilakukan manusia dalam
agama itu ada dua macam. Pertama, Syirik besar,
yaitu menetapkan adanya sekutu bagi Allah, dan ini merupakan kekafiran yang
terbesar. Kedua adalah syirik yang samar (tidak jelas) dan
kemunafi-kan.”
2. Al-‘Allamah Ali as-Suwaidi asy-Syafi’i
Beliau berkata, “Ketahuilah bahwa syirik itu adakalanya
terjadi di Rububiyah, dan
adakalanya terjadi di Uluhiyah. Yang
ke dua ini dapat terjadi di dalam I’tiqad (keyakinan), dan juga dapat terjadi di dalam mu’amalat
khusus dengan Tuhan.
Syirik
yang ke dua ini, dimana kemudian timbul syirik
ibadah, terbagi menjadi ucapan
dan perbuatan. Dan masing-masing dari
dua ini, terdapat syirik besar (syirik akbar) yang tidak
terampuni. Pembicaraan kita sekarang adalah tentang syirik besar, di
mana Allah mewajibkan kita untuk menjaga diri dari syirik itu. Iman seseorang tidak akan sempurna
kecuali setelah ia mengetahui syirik dengan macam-macam dan sebab-sebabnya.
Seorang penyair menyebutkan:
Kukenali
kejahatan bukan karena kejahatannya, melainkan untuk menjaga diri dari
kejahatan itu.
Siapa yang tidak
dapat membedakan antara kebaikan dan kejahatan, ia pasti akan jatuh dalam
kejahatan itu.
Untuk menghindari bahaya kemusyrikan ini, Nabi
Muhammad selalu meminta perlindungan kepada
Allah dari kemusyrikan. Padahal beliau adalah orang yang paling mengetahui Allah, dan yang paling takut
kepada-Nya. Dalam sebuah do’anya, beliau berkata,
“Wahai Allah, saya meminta
perlindungan kepada-Mu dari perbuatan
menyekutukan Engkau dengan sesuatu,
sedangkan aku mengetahui hal itu. Dan aku minta perlindungan kepada-Mu dari perbuatan
menyekutukan Engkau dengan sesuatu sedangkan aku tidak mengetahui hal itu.”
Dan
masih banyak lagi do’a-do’a Nabi yang
seperti itu, khususnya seruan-seruan beliau kepada Allah. Sementara Nabi
Ibrahim juga meminta perlindungan kepada Allah dari kemusyrikan. Beliau
berkata:
Artinya:
“……dan jauhkanlah aku dan anak cucuku dari
menyembah berhala-berhala.” (Ibrahim: 35)
Anak
cucu Nabi Ibrahim adalah para nabi dan
rasul. Apabila Nabi Muhammad dan Nabi
Ibrahim meminta perlindungan kepada
Allah dari perbua-tan syirik, dan mereka berdua khawatir melakukan perbuatan itu, padahal kedua orang itu adalah
utusan-utusan Allah paling mulia. Maka bagaimana dengan orang-orang yang
lain, siapa pun dia?
Syirik dalam Rububiyah
(ketuhanan) tidak pernah dilakukan oleh orang kafir mana saja. Tidak ada yang
mengatakan, bahwa pencipta alam ini ada dua yang sama wajib adanya (mesti
adanya), meskipun sebagian orang kafir mengatakan tidak adanya tuhan, seperti
yang dilakukan oleh Fir’aun dan lain-lain.
Adapun
syirik dalam Uluhiyah (penyembahan), maka hal ini bermacam-macam
berdasarkan siapa yang disembah. Namun tidak ada seorang pun yang mengatakan,
bahwa alam raya ini mempunyai dua tuhan
(yang wajib disembah), dimana keduanya sama sebanding, kecuali golongan
berhalais (politeis). Golongan berhalais (politeis) yang menyembah selain
Allah ini, mereka tidak mengatakan bahwa tuhan itu banyak, meskipun mereka
menyebutkan sembahan-sembahan mereka itu
dengan kata alihah (tuhan-tuhan). Dalam bagian lain, Al-‘Allamah Ali as-Suwaidi asy-Syafi’i mengatakan: “Kesimpulannya, syirik itu ada dua macam. Syirik dalam Rububiyah, yaitu keya-kinan,
bahwa bersama Allah ada tuhan lain yang mencipta dan mengatur alam raya
ini. Dan syirik dalam Uluhiyah, yaitu berdo’a kepada selain Allah, baik
do’a itu merupakan do’a ibadah maupun do’a permintaan”.
3.
Imam Ahmad Ibn Hajar Ali Bathmi asy-Syafi’i
Menggarisbawahi apa yang dikatakan Imam Ibnu Taimiyah,
Imam Ahmad bin Hajar mengatakan sebagai
berikut, “Syirik itu ada dua macam;
syirik besar dan syirik kecil. Siapa yang bersih (bebas) dari ke dua
syirik itu, ia pasti masuk Surga. Siapa yang meninggalkan dunia dan masih
melakukan syirik besar, maka ia pasti masuk Neraka. Sementara orang yang bersih
dari syirik besar, tapi ia melakukan sebagian syirik-syirik kecil, sedangkan
kebajikan-kebajikannya lebih banyak dari dosa-dosanya, maka ia akan masuk
Surga.
Tetapi orang yang bersih dari dosa-dosa syirik
besar, sedangkan dosa-dosanya dari syirik kecil juga banyak, sehingga dosa-dosa keburukannya lebih banyak daripada kebajikannya, maka ia akan masuk Neraka. Orang yang melakukan syirik akan dihukum
apabila syiriknya termasuk syirik besar,
atau syirik kecil tetapi banyak jumlahnya. Sementara orang yang melakukan
syirik kecil yang jumlahnya sedikit dibarengi dengan keikhlasan yang banyak, maka ia tidak dikenai hukum apa-apa.
Perbuatan yang termasuk syirik besar adalah sujud dan nadzar kepada selain Allah .
Sedangkan yang termasuk
syirik kecil adalah riya’, bersumpah dengan menyebut selain Allah
apabila yang bersangkutan tidak bermaksud mengagungkan makhluk sebagaimana mengagungkan Allah.”
SARANA SYIRIK YANG
PERLU DIHINDARI
Dalam rangka menjaga kemurnian tauhid, para ulama madzhad Imam Syafi’i telah mengingatkan tentang wasilah (perantara, sarana), yaitu hal-hal
yang dapat menyebabkan
syirik, agar hal itu dihindari. Imam Syafi’i,
misalnya, begitu pula dengan iman-imam
lain dalam madzhab Syafi’i, melarang
hal-hal yang dapat menjadi wasilah (perantara) syirik, seperti menembok kuburan,
meninggikannya , dan membuat bangunan di atasnya .Demikian pula
menulis sesuatu di atas kubur, memasang lampu di atasnya, dan menjadikan
kuburan sebagai masjid .
Juga dilarang melakukan shalat dengan menghadap ke kuburan (tanpa dinding pembatas) ,berdo’a menghadap
ke kuburan , melakukan thawaf mengelilingi
kuburan, duduk di atasnya, mencium dan
mengusapnya dengan tangan, memasang tenda
dan naungan-naungan apa saja di atasnya, dan me-ngatakan, “Demi Allah dan demi
keturunan kamu”, atau mengatakan, “Apa yang dikehendaki oleh Allah dan kamu.”
Imam Syafi’i mengatakan , “Saya tidak menyukai ada masjid
dibangun di atas kuburan, kuburan diratakan, atau
dipakai untuk shalat di atasnya sedangkan kuburannya tidak diratakan, atau
melakukan shalat dengan menghadap kuburan.”
Imam Syafi’i juga berkata, “Dimakruhkan menembok kuburan, menulis nama yang mati (di batu nisan atau
yang lainnya) di atas kuburan, atau tulisan-tulisan yang lain, dan membuat
bangunan di atas kuburan.” Beliau juga mengatakan, “Dan saya melihat para penguasa ada yang
menghancurkan bangunan-bangunan di atas kuburan
dan saya tidak melihat ada ahli fiqih yang
menyalahkan hal itu. Hal itu karena membiarkan bangunan-bangunan itu di atas kuburan akan mempersempit ruang pemakaman/penguburan bagi orang-orang lain.”
Imam
Syafi’i juga menegaskan, “Saya tidak menyukai
ada makhluk yang diagung-agungkan sehingga kuburannya dijadikan masjid, karena
khawatir terjadi fitnah (pengkultusan) pada dirinya pada saat itu, atau
orang-orang yang datang sesudahnya
mengkultuskan dirinya.”
Sementara
itu, Imam Nawawi mengatakan, “Di-makruhkan
menembok kuburan, mendirikan bangunan,
dan menuliskan sesuatu di atasnya. Apabila ba-ngunan itu didirikan di atas
tanah kubur yang diwa-kafkan fi sabilillah, maka hal itu harus
dirobohkan.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki mengatakan, “Dosa
besar yang kesembilan puluh tiga, sembilan puluh empat, sembilan puluh lima, sembilan puluh enam, sembilan puluh tujuh, sembilan puluh delapan
adalah menjadikan kuburan sebagai masjid, memasang
lampu di atasnya, menjadikan ibarat berhala yang disembah, thawaf mengelilinginya, mengusap-usap dengan tangan, dan shalat menghadap kepadanya….”. Kemudian beliau berkata lagi, “Peringatan! Enam perbuatan itu dimasukkan ke dalam katagori
dosa-dosa besar, seperti terdapat dalam
pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, hal itu tampak diambil dari
hadits-hadits yang telah saya sebutkan.
Tentang menjadikan kuburan sebagai masjid, hal itu sudah
jelas, karena Nabi melaknat orang-orang
yang melakukan hal itu. Nabi juga menilai, orang-orang yang melakukan hal itu terhadap kuburan-kuburan orang-orang shaleh dari umat beliau, sebagai makhluk terburuk pada Hari Kiamat nanti. Itu semua merupakan peringatan bagi kita, seperti dalam
sebuah riwayat, Nabi mengingatkan
akan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani.”
Maksudnya,
Nabi mengingatkan umatnya dengan hadits itu, agar umatnya tidak melakukan apa
yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani, dengan demikian beliau
akan dilaknat seperti dilaknatnya orang-orang Yahudi dan Nashrani.
Adapun menjadikan kuburan sebagai masjid, maksudnya
adalah shalat di atas kuburan atau shalat dengan
menghadap kuburan (tanpa dinding pembatas). Maka kata “shalat menghadap
kepadanya (ke arah kuburan)” merupakan pengulangan, kecuali apabila yang dimaksud dengan “menjadikan kuburan sebagai
masjid” itu adalah “shalat di atasnya” saja.
Memang
kesimpulan hukum keharaman itu. Dapat
diterima apabila kuburan itu dimuliakan seperti kuburan seorang nabi atau wali,
seperti yang disitir dalam riwayat Imam Muslim, di mana Nabi bersabda,
“Apabila terdapat orang-orang shaleh…” Oleh
karena itu, para ulama madzhab Syafi’i
menga-takan, “Haram hukumnya, shalat menghadap kubur para nabi dan para
wali.” Serupa dengan itu, shalat di atas
kuburan, mencari keberkahan, dan mengagungkan kuburan.
Adapun perbuatan itu dimasukkan ke dalam katagori
dosa besar yang nyata, hal itu sudah jelas dari hadits-hadits tersebut. Dan
dapat dikiaskan dengan hal itu, segala
sesuatu yang intinya pengagungan terhadap
kuburan, seperti menyalakan lampu di atasnya dalam rangka mengagungkan
kuburan, mencari berkah dari kuburan dan thawaf mengelilingi kuburan dalam
rangka mengagungkan atau mencari berkahnya.
Dan pengkiasan ini tidaklah jauh, lebih-lebih Nabi telah menegaskan dalam
hadits tersebut, bahwa orang-orang yang memasang lampu di atas kuburan
akan dilaknat oleh Allah.
Adapun
menjadikan kuburan sebagai sesembahan
(berhala), hal itu dilarang, berdasarkan hadits Nabi :
“Jangan kamu menjadikan kuburku
sebagai berhala (sesembahan) yang disembah
setelah aku meninggal
dunia.”
Maksud hadits ini adalah, jangan kamu mengagungkan kuburku
seperti penganut agama lain, mengagungkan sesembahan-sesembahan
(berhala-berhala)nya dengan sujud atau yang lain.
Imam
Ibnu Hajar al-Haitami selanjutnya mengatakan,
“Perbuatan-perbuatan haram yang paling besar dan sebab-sebab yang menyeret kepada kemusyrikan adalah shalat di
atas kuburan, menjadikan kuburan sebagai masjid, dan membuat bangunan di
atasnya. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hal itu hukumnya makruh, maka
kata makruh ini harus diartikan lain, yaitu haram. Sebab tidak mungkin
para ulama
membolehkan sesuatu perbuatan di mana Nabi melaknat pelakunya, dan berita tentang laknat
itu diterima dari Nabi dari generasi ke
generasi.
Bangunan-bangunan
di atas kuburan itu harus segera dihancurkan, begitu pula kubah-kubah yang ada di atasnya, karena bangunan-bangunan itu lebih
berbahaya daripada masjid dhirar.
Membuat bangunan itu merupakan
tindakan durhaka (maksiat) kepada Rasulullah, karena beliau melarangnya, dan
beliau memerintahkan untuk menghancurkan kuburan-kuburan dibangun menonjol dari dataran tanah.
Sedang-kan lampu-lampu yang dipasang
di atas kuburan haruslah dihilangkan,
dan tidak boleh mewakafkan lampu-lampu, atau nadzar memasang lampu-lampu
untuk kepentingan tersebut.
Sementara itu Imam Nawawi mengatakan “Tidak
boleh melakukan thawaf mengelilingi makam Rasulullah. Tidak boleh pula
menempelkan badan (perut dan punggung) pada dinding makam Rasulullah. Pendapat
ini diucapkan oleh Imam Abu Ubaidillah al-Hulaimi dan lain-lain. Mereka
mengatakan bahwa makruh (tidak boleh)
hukumnya mengusap kubur Nabi dan
menciuminya. Yang baik sesuai dengan tata
krama, adalah berdiri tegak jauh dari kubur Nabi , seperti halnya orang yang berada di hadapan Nabi ketika beliau masih hidup, berada agak jauh
dari beliau.
Ini adalah pendapat yang benar, yang diucapkan oleh para ulama, dan mereka semua berpendapat
sama. Dan seseorang hendaknya jangan
terkecoh oleh pendapat dan perbuatan
sementara orang-orang awam yang
berlawanan dengan pendapat para ulama tadi, karena cara untuk mengikuti jejak
Nabi n dan mengamalkan suatu ajaran adalah hanya berdasar-kan hadits-hadits yang shahih dan pendapat para ulama.
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang orang awam dan orang-orang bodoh di kalangan mereka, di mana perbuatan itu tidak
pernah dicontohkan oleh Rasulullah , maka hal itu tidak dapat dipertimbangkan.
Sementara
orang barangkali terdetik dalam hatinya, bahwa mengusap dengan tangan itu lebih
mengena untuk mendapatkan berkah, maka hal itu menunjukkan kebodohan dan kedunguan yang bersangkutan. Sebab berkah
itu akan dapat diperoleh hanya dengan
perbuatan yang sesuai dengan syari’at. Bagai-mana mungkin kemurahan Allah dapat diperoleh melalui perbuatan yang bertentangan dengan ajaran
yang benar?”
Imam al-Baghawi mengatakan, “Makruh hukumnya memasang tenda (naungan) di atas kuburan. Karena Syaidina Umar pernah melihat sebuah tenda di atas sebuah kuburan,
kemudian beliau memerintahkan agar tenda itu dihilangkan. Kata beliau, “Biarlah amal mayat itu yang akan menaunginya”.
Sementara dalam kitab al-Minhaj dan Syarahnya,
karya Imam Ibnu Hajar, terdapat keterangan yang intinya, “Dimakruhkan menembok kuburan dan membuat bangunan di
atasnya. Demikian pula menulis sesuatu di atas kuburan, karena ada larangan
yang shahih terhadap ketiga perbuatan ini, baik tulisan itu berupa nama
mayit yang dikubur maupun tulisan yang lain, dan baik tulisan
itu di atas papan yang dipasang di atas kepala mayit maupun di tempat yang
lain.
Memang, Imam al-Adzra’i pernah membahas
tentang diharamkannya menulis ayat-ayat al-Qur’an di atas kuburan. Hal ini
karena perbuatan itu dapat melecehkan
al-Qur’an, di mana ayat-ayat itu akan diinjak-injak, dan terkena najis oleh
nanah orang-orang mati, apabila
terjadi pemakaman yang berulang ulang.
Begitu pula bila turun hujan. Imam al-Adzra’i juga mengkaji tentang
dianjurkannya menulis nama mayit saja untuk sekedar diketahui sepanjang tahun,
terutama kubur para nabi dan orang-orang shalih.
Beliau mengatakan, ‘Sekarang hal itu tidak diamalkan lagi. Karena para imam kaum muslimin dari timur sampai barat ditulis namanya di
kubur-kubur mereka. Perbuatan ini diambil oleh orang-orang belakangan dari orang-orang dahulu. Dan hal itu
dilarang secara umum dengan adanya larangan membangun di atas kuburan. Membangun di atas kuburan
tentunya lebih besar dari sekendar menulis sesuatu di atas kuburan. Dan hal ini banyak terjadi di
kuburan-kuburan yang mewakafkan fi
sabilillah (musabalah), seperti terdapat, khususnya di
Makkah, Madinah, Mesir dan lain-lain.
Padahal mereka sudah tahu bahwa perbuatan itu dilarang. Demikian pula
menulis sesuatu di atas kuburan.
Apabila
anda tahu bahwa perbuatan itu sudah
merupakan ijma’ fi’li (konsensus praktis para ulama) sehingga
hal itu dapat menjadi hujjah (argumen, dalil) sebagaimana mereka katakan, maka kami menjawab,
bahwa hal itu dilarang, meskipun banyak dilakukan orang. Sebab perbuatan itu
tidak pernah dinyatakan sebagai hujjah, meskipun oleh para ulama yang
berpendapat bahwa hal itu dilarang.
Sekiranya
perbuatan itu dapat disebut sebagai ijma’ fi’li (konsensus praktis para
ulama), maka hal itu dapat menjadi dalil
dan dapat dipakai pada saat keadaan zaman itu baik, di mana amar ma’ruf dan nahi mungkar
dapat dikerjakan. Dan ternyata sejak masa yang lama hal itu tidak berjalan.
Apabila
ada orang membangun kuburan yang sama dengan
yang sudah ada, dan tidak untuk keperluan seperti yang sudah disebutkan
di muka, dan itu sudah jelas. Maka seperti apa yang difatwakan oleh sejumlah
ulama, bahwa semua bangunan yang ada di tempat yang akan dipakai untuk mengubur
mayat di Mesir, sampai kubah Imam kita Syafi’i yang dibangun oleh seorang raja Mesir, harus dihancurkan. Semua orang
seharusnya merobohkan bangunan-bangunan
seperti itu, selama tidak khawatir
akan terjadi mafsadah (hal-hal yang tidak diinginkan).
Apabila
khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,
maka hal itu harus dilaporkan kepada imam (penguasa) agar ia menangani
hal tersebut.”
Seperti dituturkan dalam kitab Hasyiyah as Suyuthi ‘ala
Sunan an-Nasa’i, Imam Baidhawi mengatakan, “Orang-orang Yahudi dan Nashrani sujud kepada kubur para nabi mereka. Mereka menghadap ke kubur-kubur itu seraya mengagungkannya. Mereka juga
menjadikan kubur-kubur sebagai kiblat di mana mereka menghadap dalam shalat, do’a, dan lain-lain. Mereka juga menjadikan kubur-kubur itu sebagai berhala (sesembahan), maka Allah melaknat mereka dan
melarang orang-orang Islam melakukan
perbuatan seperti itu. Sumber
kemusyrikan itu terjadi karena mengagungkan kubur dan selalu menghadap
kepadanya.”
Sementara itu Imam as-Suwaidi asy-Syafi’i mengatakan,
“Kamu dapat melihat orang-orang meninggikan
kuburan sangat tinggi, dan menuliskan ayat-ayat al-Qur’an di atasnya. Mereka
membuat peti-peti dari kayu jati dan
sebagainya untuk kuburan-kuburan itu. Di atasnya mereka kasih kain
kelambu yang dihiasi dengan emas dan perak murni.
Mereka
tidak puas dengan membangun kuburan seperti
itu, dibikinnya jendela-jendela dari perak atau yang lain mengelilingi
kuburan, mereka pasang pula lampu-lampu emas. Di atasnya mereka bikin
kubah-kubah dari emas atau dari kaca yang diukir. Dibikinnya pintu-pintu yang dihiasi indah. Di pintu-pintu
itu dipasang kunci-kunci dari perak atau dari yang lain agar tidak
dicuri maling.
Semua
itu bertentangan dengan ajaran agama yang dibawa oleh para rasul, dan jelas
menentang Allah dan Rasul-Nya. Sekiranya
mereka itu mengikuti jejak
Rasulullah, seyogianya mereka melihat apa yang dilakukan oleh Nabi kepada para
sahabat, padahal mereka itu
sebaik-baik sahabat Nabi. Orang-orang itu hendaknya juga melihat makam
Nabi, bagaimana para sahabat memperlakukannya.”
Imam Nawawi mengatakan, “Larangan Nabi untuk menjadikan kuburan beliau dan kubur orang
lain sebagai masjid, hal itu hanyalah
khawatir terjadi sikap yang berlebih-lebihan
dalam mengagungkan kuburan, sehingga akan terjadi hal-hal yang tidak
diridhai oleh Allah (fitnah). Bahkan, bisa
jadi hal itu dapat menyebabkan kekafiran, seperti yang pernah terjadi pada umat-umat terdahulu.
Ketika para sahabat dan para tabi’in memerlukan perluasan pembangunan Masjid Nabawi, di
mana umat Islam bertambah banyak, sementara
perluasan masjid kemudian menjadikan rumah-rumah para istri Nabi berada di dalam masjid, termasuk dengan
sendi-sendi rumah Aisyah di mana Nabi dimakamkan dan dua sahabat Beliau, Abu
Bakar dan Umar , maka para sahabat dan tabi’in membuat tembok tinggi yang
mengitari kubur Nabi . Dengan demikian, kubur Nabi itu tidak kelihatan dari masjid. Karena bila tampak, hal itu dapat
menyebabkan perbuatan yang dilarang.
Para
shahabat dan tabi’in kemudian membuat tembok
dari arah dua sudut di sebelah utara, dan dua tembok itu dibuat miring sehingga keduanya bertemu. Dengan
demikian orang yang shalat tidak dapat menghadap kubur Nabi .”
Dalam
kitab al-Bahits ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits, hal. 103,
terdapat keterangan sebagai berikut,
“Perhatikanlah –semoga kamu dirahmati oleh Allah-, di mana saja kamu
mendapatkan sebuah pohon yang selalu
dikunjungi oleh orang-orang, mereka memuliakan
pohon itu, mengharapkan kebebasan dan kesembuhan dari padanya, mereka
juga memasang paku-paku untuk menggantungkan
kain-kain sebagai bandulnya, maka tebanglah pohon-pohon itu.”
KESALAHPAHAMAN DAN SANGGAHANYA
Sementara
orang yang senang membuat bangunan-bangunan
di atas kubur, berpendapat bahwa membangun masjid di atas kubur itu
boleh. Dalilnya adalah kisah Ash-habul Kahfi, di mana orang-orang itu membangun masjid di atas kubur Ash-habul
Kahfi.
Imam al-Hafizh Ibnu Katsir menjawab kesalahpahaman
ini dengan dua jawaban:
1.
Perbuatan
tersebut dilakukan oleh orang-orang kafir dan musyrik. Oleh karena itu, hal itu
tidak dapat dijadikan hujjah (dalil).
2. Sekiranya
perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang Islam, maka mereka itu bukanlah orang-orang
terpuji dalam perbuatan tersebut.
CONTOH-CONTOH KEMUSYRIKAN
Para
ulama madzhab Imam Syafi’i memperingatkan
akan contoh-contoh kemusyrikan agar hal itu dijauhi. Imam Syafi’i dan sejumlah pengikutnya, misalnya melarang segala
bentuk kemusyrikan, baik syirik besar maupun
syirik kecil, seperti berdo’a dan minta tolong kepada selain Allah,
bersujud kepada selain Allah, ruku’
kepada selain Allah, nadzar kepada selain Allah, menyembelih binatang untuk
selain Allah, keyakinan bahwa
seseorang itu dapat mengetahui hal-hal yang ghaib, bersumpah dengan menyebut selain Allah”, menyatakan “Apa yang
dikehendaki oleh Allah dan kamu” , dan mempunyai keyakinan bahwa sihir
itu sendiri memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi orang” .
Imam Syafi’i mengatakan, “Orang yang bersumpah dengan
menyebut sesuatu selain Allah, seperti seseorang
bersumpah, “Demi Ka’bah, demi ayahku, demi tempat ini, tempat itu, dan
lain-lain”, kemudi-an ia melanggar sumpahnya
itu, maka ia tidak wajib membayar kaffarat (denda sumpah).
Semua
sumpah dengan menyebut nama-nama selain nama
Allah, dilarang oleh Rasulullah . Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah melarang kamu bersumpah dengan menyebut (nama-nama) nenek moyangmu.
Siapa yang mau bersumpah, hendaknya bersumpah dengan menyebut nama
Allah, atau diam saja.”
Kami
diberitahu Ibnu ‘Uyainah, katanya, ia diberitahu az-Zuhri, katanya, ia diberitahu Salim dari
Ayah-nya, kata ayahnya, “Nabi mendengar Umar ber-sumpah dengan menyebut
nama ayahnya. Kemudian Nabi bersabda, “Ingatlah, sesungguhnya Allah melarang
kamu untuk bersumpah dengan menyebut nenek
moyangmu.” Umar kemudian berkata, “Demi Allah, sesudah itu saya tidak
pernah bersumpah dengan menyebut nama selain Allah.”
Kata Imam Syafi’i selanjutnya, “Semua orang yang bersumpah dengan menyebut selain Allah, saya
tidak menyukai ia melakukan itu. Dan saya khawatir sumpahnya itu menjadi
maksiat.
Sementara Imam Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki mengatakan, “Dosa besar yang ke seratus enam puluh tujuh
adalah menyembelih binatang dengan menyebut nama selain Allah dengan cara yang tidak menyebabkan
kafir, misalnya dengan tidak bermaksud mengagungkan sesuatu yang di tuju dalam penyembelihannya, seperti mengagungkan
dengan cara beribadah dan sujud.”
Selanjutnya, Imam Ibnu Hajar mengatakan “Menurut
ulama penerus madzhab Syafi’i, di antara perbuatan yang menyebabkan sembelihan
binatang itu haram dimakan adalah ketika menyembelih mengatakan, “Dengan menyebut nama Allah dan nama
Muhammad”, ‘atau Muhammad Rasulullah’ atau ‘Muhammad’. Demikian pula apabila
seorang kafir kitabi (Yahudi dan Nashrani) menyembelih binatang untuk gereja, salib, Musa, atau Isa. Begitu pula
orang muslim menyembelih hewan untuk Ka’bah, Muhammad, atau menyembelih
dengan niat ketaatan ritual untuk penguasa
atau yang lain, atau untuk jin, semua itu menyebabkan hewan yang
disembelih haram dimakan, dan itu semua merupakan dosa besar.”
Dalam
kitab Syarh al-Minhaj, Imam al-Rafi’i mengatakan,
“Adapun nadzar yang diperuntukkan kepada makam-makam “keramat”, yaitu
pada kubur seorang wali, ulama atau nama
wali yang menempatinya, atau tempat-tempat yang dikeramatkan karena
sering dikunjungi para wali atau orang-orang shaleh, maka apabila orang yang melakukan nadzar
tersebut bermaksud, dan ini yang banyak terjadi dan dilakukan
orang-orang awam, untuk mengagungkan bumi, tempat,
atau ruangan, orang yang dimakamkan di situ, atau orang-orang yang ada
kaitannya dengan tempat-tempat itu, atau
dengan niat mengagungkan suatu nama, maka nadzar tersebut batal, tidak
sah.
Hal itu karena mereka berkeyakinan bahwa tempat-tempat
itu memiliki keistimewaan. Mereka menganggap bahwa tempat-tempat itu
dapat menolak bala, mendatangkan
keberuntungan, dan dengan nadzar itu,
tempat-tempat itu dapat menyembuhkan dari penyakit. Sampai mereka melakukan nadzar untuk batu-batu, karena
konon ada orang shaleh yang pernah
bersandaran pada batu-batu itu. Mereka juga bernadzar untuk memasang lampu,
memberikan minyak untuk sebuah kuburan. Mereka beranggapan bahwa kubur seseorang,
atau tempat itu menerima nadzar; maksudnya dengan memberikan nadzar itu
maksud seseorang dapat terkabul, misalnya orang sakit bisa sembuh, orang
hilang bisa kembali, atau bisa diselamatkan, dan nadzar-nadzar lainnya.
Nadzar dengan cara seperti ini adalah batal, tidak diragukan lagi. Bahkan nadzar untuk memasang lampu, memberikan minyak dan lain-lain pada suatu kuburan
adalah batal secara mutlak. Termasuk nadzar untuk memasang lilin yang besar dan
banyak di makam Nabi Ibrahim, kubur nabi-nabi yang lain, atau kubur orang-orang shaleh. Orang yang bernadzar
itu tidak punya maksud lain dengan memasang
lampu di kubur-kubur itu, kecuali mencari berkah dan mengagungkan tempat-tempat itu, karena mereka mengira hal seperti itu merupakan ibadah. Hal ini tidak diragukan lagi kebatilannya. Menyalakan
lampu seperti itu adalah haram, baik ada orang yang menggunakannya
atau tidak.”
Imam
Nawawi mengatakan, “Apabila ada yang bernadzar
untuk berjalan kaki menuju ke
masjid selain tiga
masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Aqsha), maka dia tidak wajib
melakukannya, dan menurut madzhab Syafi’i, nadzar tersebut tidak sah.”
Dalam
kitab Syarh al-Minhaj, Imam Ibnu Hajar al-Makki
mengatakan, “Orang yang menyembelih binatang tidak boleh menyebut “Bismillahi
wa ismi Muhammad” (Dengan menyebut nama Allah dan na-ma
Muhammad).” Kata beliau, “Menyambung dua kata itu haram, karena hal itu berarti
mempersekutukan Muhammad dengan Allah.
Sementara hak Allah adalah sembelihan itu disebutkan nama-Nya saja
sebagaimana dengan sumpah, harus disebut nama Allah saja.
Apabila
ketika menyembelih itu menyebut nama Allah,
kemudian nama Muhammad disebut agar
memperoleh keberkahan saja, maka hal itu dimakruhkan.
Sedangkan
Imam Ahmad bin Hajar Ali Buthami asy-Syafi’i
berkata, “Hal itu maksudnya mereka tidak boleh bernadzar kepada selain
Allah, mereka tidak boleh thawaf kecuali di Baitullah. Oleh karena itu tidak
boleh nadzar untuk para wali dan para ulama shalihin. Tidak boleh pula melakukan thawaf mengelilingi
kubur-kubur mereka, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak tahu
berthawaf mengelilingi Syaikh Abdul Qadir Jaelani, kubur Syaidina al-Husain,
Syaikh al-Badawi, Syaikh ad-Dasuqi, dan lain-lain. Semua itu adalah perbuatan
syirik, tidak ada perbedaan pendapat lagi dalam masalah ini.
Banyak pelaku bid’ah yang bodoh-bodoh bernadzar
untuk orang-orang shaleh. Sebagian mereka mengirimkan uang untuk
memasang gordyn (kelambu) dan
membangun kubah, seperti banyak dilakukan orang-orang
India dan Pakistan yang bernadzar untuk Syaikh Abdul Qadir Jaelani.
Perbuatan ini dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah.
Sementara orang-orang Syi’ah dari India dan
Pakistan, mereka bernadzar menyerahkan hartanya untuk kuburan Ahli Bait di
Najaf, Karbala, Khurasan, dan Qum. Mereka
sengaja datang dari berbagai penjuru
dunia ke kubur-kubur itu, untuk melakukan thawaf, minta pertolongan kepada penghuni kubur, meminta agar
penghuni kubur itu mengabulkan hajatnya,
melepaskan dari kesusahannya, suatu hal yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh pencipta langit dan bumi.
Sebagaimana tidak boleh bernadzar untuk kubur para
wali dan shalihin, tidak boleh pula mewakafkan rumah atau kebun untuk
kepentingan kubur mereka. Barangsiapa
bernadzar untuk selain Allah, ia tidak boleh memenuhi nadzarnya itu, bahkan dia
harus minta ampun kepada Allah,
bertaubat, membaca kalimat shahadat karena dia telah murtad,
apabila ia telah tahu bahwa nadzar untuk selain Allah itu syirik.
Orang
yang mewakafkan kebun atau binatang untuk
kubur-kubur para wali, maka wakafnya itu batal (tidak sah). Apabila ada
orang yang berwasiat seperti itu, maka wasiatnya juga batal (tidak sah). Kebun
atau hewan tadi tetap menjadi miliknya. Kita mohon petunjuk kepada Allah untuk
kita dan mereka.
Adapun pendapat orang yang mengatakan bahwa
nadzar itu untuk Allah, sedangkan pahalanya untuk wali, maka pendapat itu adalah
batil dan kesesatan yang nyata. Untuk wali
dimasukkan ke situ? Apabila ia bermaksud sedekah, silahkan bersedekah
kepada orang-orang fakir atas nama sendiri, kedua orang tuanya, dan keluarganya. Dari mana pula ia tahu bahwa penghuni
kubur itu adalah wali? Segala sesuatu itu
akan dinilai bagaimana akhirnya. Adakalanya seseorang kelihatan baik,
tetapi ternyata batinnya buruk; tampaknya muslim, ternyata batinnya kafir
zindiq. Orang-orang yang melakukan perbuatan
seperti itu sudah jelas ketidakbenarannya dan kesesatannya, yaitu mereka
menggiring kambing dan menyembelihnya di kuburan. Ketika anda ingkari hal itu,
mereka berkata, “Sembelihan untuk Allah, sedangkan pahalanya untuk wali”. Tujuan mereka tidak lain
adalah untuk mengelabui dan memutarbalikkan
kebenaran. Mereka tidak punya
tujuan lain kecuali untuk wali penghuni kubur.
Padahal
para ulama telah menjelaskan, bahwa tidak
boleh menyembelih hewan di suatu tempat yang dulu pernah dipakai untuk menyembelih hewan untuk selain Allah. Hal itu berdasarkan
hadits riwayat Tsabit adh-Dhahhak,
katanya, “Ada seorang bernadzar untuk menyembelih
onta di suatu tempat bernama Bawanah. Ia
bertanya kepada Nabi untuk hal itu. Jawab Nabi , “Apakah di tempat itu ada patung-patung jahiliyah yang disembah?” Para sahabat men-jawab, “Tidak”. Akhirnya Nabi bersabda, “Penuhilah nadzarmu, dan tidak boleh memenuhi
nadzar yang berunsur maksiat kepada Allah,
dan tidak boleh pula memenuhi nadzar dalam hal-hal yang tidak dimiliki
oleh manusia.”
KESALAHPAHAMAN
TENTANG AMAL IBADAH YANG DILAKUKAN DI KUBURAN
Ada
dua kesalahpahaman tentang amal ibadah yang
dilakukan di kuburan, baik berupa nadzar, thawaf, dan sebagainya.
1. Anggapan sementara orang yang kurang pengetahuannya yang menyatakan bahwa orang yang melakukan
amalan-amalan di atas kuburan itu tidak dapat
disebut musyrik. Mereka itu mempercayai
adanya Allah sebagai Pencipa Alam, mereka juga mempercayai Syari’at
Islam dan Hari Kiamat. Mereka itu hanya tawassul (berperantara)
dengan orang-orang yang shaleh, mereka tidak mau disebut musyrikin,
bahkan mereka menghindari kemusyrikan. Bagaimana mungkin mereka disebut orang-orang
musyrik?
2. Kekafiran
orang-orang musyrik itu adalah karena mereka mengingkari ketuhanan
Allah, bukan karena membelokkan ibadah untuk
selain Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah :
Artinya :
“Mereka bertanya, apakah ar-Rahman itu?”
(Al-Furqan: 60)
Dan
firman Allah:
Artinya
:
“Padahal mereka itu kafir kepada Tuhan Yang
Maha Pemurah.”
(ar-Ra’d: 30)
Imam
Ahmad bin Hajar Ali Buthami asy-Syafi’i menjawab
kedua kesalahpahaman itu sebagai berikut:
1. Orang-orang
yang melakukan ibadah untuk selain Allah itu tetap disebut musyrik meskipun
mereka menjalankan Syariat Islam. Hal
itu karena kekafiran dan kemusyrikan itu bercabang-cabang dan bermacam-macam. Sebagaimana juga iman bercabang-cabang. Apabila ada orang yang menjalankan
cabang-cabang iman, tetapi ia juga menjalankan sedikit cabang kemusyrikan, maka ia disebut musyrik. Misalnya, ada orang yang menjalankan ibadah shalat,
puasa, dan beriman kepada kerasulan Nabi
Muhammad, Hari Kiamat, dan hidupnya selalu zuhud, serta berakhlaq mulia, tetapi
ia punya keyakinan bintang anu mempunyai
kekuatan untuk mempengaruhi orang. Atau
dia punya keyakinan, bahwa di
tangannyalah kekuasaan mendatangkan keberuntungan atau kecelakaan. Atau
dia punya keyakinan tantang malaikat atau rasul, di mana hal itu tidak boleh
diimani kecuali kepada Allah saja. Maka orang tersebut disebut musyrik,
meskipun ia beramal shaleh. Bila tidak demikian, maka apa artinya ada kitab ar-Riddah
(murtad)? Seseorang bisa disebut kafir atau musyrik meskipun tidak menjalankan semua
macam dan jenis perbuatan kekafiran.
Tentang mereka melakukan tawassul karena mereka
beranggapan bahwa mereka itu banyak dosanya,
sementara para wali itu lebih dekat kepada
Allah, sehingga mereka menjadikan para wali
itu sebagai perantara antara mereka dengan Allah, maka kemusyrikan
seperti inilah yang justru dilakukan orang-orang musyrik Arab pada masa jahiliyah. Sementara bahwa mereka itu mengucapkan
dua kalimat shahadat, maka dengan sendirinya ucapan shahadat itu batal
atau gugur oleh perbuatan mereka yang
bertentangan dengan maksud dua kalimat
shahadat itu sendiri, sebagaimana halnya hadats sesudah wudhu’.
Pengakuan mereka tentang
adanya Tuhan Pencipta Alam tidak ada artinya apa-apa, sebab orang-orang
musyrikin juga mengaku adanya Tuhan, tetapi
mereka tidak disebut muslim.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa orang-orang musyrik Arab
mengingkari kebangkitan dari
alam kubur, maka hal itu dapat dijawab, bahwa keyakinan mereka yang disebut di
atas, adalah termasuk faktor-faktor yang menyebabkan seseorang dapat
menjadi kafir. Rasulullah mengkafirkan mereka, bahkan membolehkan untuk memerangi
mereka, karena faktor-faktor yang banyak
jumlahnya. Dan yang terbesar dari faktor-faktor ini adalah mereka menyembah berhala. Faktor lainnya adalah,
mereka mengingkari kebangkitan dari kubur (al-ba’ts).
Iman
seseorang itu tidak akan diterima oleh Allah, apabila hanya separuh-separuh saja; separuh iman, separuh kafir. Ia wajib tunduk seraya meyakini
terhadap apa yang disebutkan oleh Al-Qur’an dan dibawa oleh Rasulullah,
serta mengamalkannya. Orang yang beriman dengan sebagian ajaran al-Qur’an dan tidak beriman kepada se-bagian yang lain,
maka dia termasuk kafir. Allah berfirman tentang orang-orang seperti itu.
Artinya
:
“Orang-orang
kafir itu mengatakan:"Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian
(yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan
itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir)”
(An-Nisa :150)
Sekadar
mengucapkan dua kalimat shahadat saja tidak akan ada gunanya bagi mereka, sampai mereka mau mengamalkan
isi maksud dari dua kalimat shahadat, yaitu melepaskan diri dari menyembah selain Allah dan hanya beribadah (menyembah)
kepada Allah saja.
Dari
keterangan-keterangan di atas dapat disimpulkan,
betapa para ulama dari madzhad Syafi’i
itu sebenarnya telah berupaya untuk mengingatkan
secara maksimal tentang bahaya kemusyrikan di dunia dan akhirat.
Akhirnya, Allah-lah tempat kita mohon
pertolongan, dan kepada-Nya kita menyerahkan segala urusan.
KHATIMAH
Segala puji bagi Allah, yang telah memberikan kekuatan
kepada kami untuk menyelesaikan buku ini. Semua itu adalah atas anugrah dan kemurahan Allah. Hal-hal penting yang dapat disimpulkan dari
buku ini adalah :
1. Bahwa Imam Syafi’i dan para ulama Syafi’iyah
pada masa klasik, sedikit sekali
berbicara tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan bid’ah-bid’ah kuburan. Hal itu karena pada masa mereka,
bid’ah-bid’ah kuburan itu tidak banyak terjadi.
Sementara
ulama madzhab Syafi’i pada masa belakangan banyak berbicara tentang masalah
tersebut.
2. Kebanyakan
ulama madzhab Syafi’i telah melakukan usaha-usaha yang sangat terpuji dalam
menutup rapat-rapat segala pintu yang dapat membawa kemusyrikan. Hal ini mereka lakukan dalam rang-ka menjaga tauhid.
3. Bid’ah-bid’ah
yang berkaitan dalam masalah kuburan telah menjadi masalah yang sangat
berat (parah) yang menimpa kebanyakan orang. Dan hal itu dapat menyeret
mereka kepada kemusyrikan yang besar.
4. Syari’at
Islam sangat berhati-hati dalam menjaga tauhid, di mana Islam mengharamkan segala macam perbuatan yang dapat
menyebabkan kemusyrikan, di antaranya adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengagungan (pemuliaan kuburan).
5. Kemusyrikan
benar-benar sangat melecehkan martabat manusia, di mana manusia harus
ta’at dan menyembah kepada selain Allah. Kemusyrikan juga merusak akal manusia,
karena ia akan mempercayai hal-hal yang bersifat klenik, takhayul, dan
khurafat.
Akhirnya, inilah upaya kami yang belum berbuat banyak. Mudah-mudahan Allah menerimanya sebagai amal shaleh yang ikhlas kepada-Nya.
Kami mohon maaf kepada para pembaca atas
segala kekurangan dan kelemahan kami. Karena kelemahan adalah watak manusia.
Allah-lah yang mengetahui di balik segala
maksud kita. Dia-lah yang mencukupi kita, dan sebaik-baik Dzat yang kita
serahi.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.
Diringkasdari buku “ Kemusyrikan
Menurut Madzhab Syafi`i “ Dr. Abdur Rahman al-Khumayyis Oleh: Husnul
Yaqin,Lc
0 komentar:
Posting Komentar